Senin, 17 September 2012

Pendidikan Seks dalam Keluarga


Pendidikan pertama yang diterima seseorang diperoleh dari orang tuanya. Untuk mengajarkan kemampuan berbahasa, berhitung, mengenal benda-benda, dsb. tidak menjadi masalah bagi kebanyakan orang tua. Akan tetapi, saat harus memberikan pendidikan seks, orang tua biasanya mengalami kebingungan dan kesulitan. Tidak jarang orang tua memilih untuk tidak memberikan pendidikan seks kepada anak karena menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tabu. Akibatnya, anak-anak mencari cara untuk mendapatkan pengetahuan tentang seks dari teman sebaya ataupun orang lain. Ini merupakan cara yang tidak tepat.

Seks sebetulnya merupakan hal yang paling banyak memenuhi pikiran anak-anak remaja. Namun, mereka justru enggan membicarakannya. Pendidikan seks bukanlah pendidikan formal. Sebaiknya, kita mengajarkan pendidikan seks secara berkelanjutan, bertahap, dan informal kepada anak-anak kita. Seks di sini bukan saja yang berkaitan dengan moralitas, meskipun itu merupakan bagian penting yang harus kita bicarakan pada anak kita. Orang tua perlu membicarakan aspek fisik dari seks, sehingga anak-anak memunyai gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan seks dan kapan seks boleh dinikmati, serta siapa yang boleh menikmatinya. Bagi remaja, hal seksual bukan saja menjadi hal yang bersifat kognitif -- bersifat rasional yang harus dia ketahui -- melainkan merupakan hal yang benar-benar mulai memengaruhi kehidupan mereka secara menyeluruh. Dan, keinginan-keinginan untuk dekat dengan seseorang secara fisik itu mulai ada pada anak-anak remaja. Jadi, sebagai orang tua kita harus secara proaktif mengambil inisiatif.

Mengapa kita perlu mengajarkan seks secara keseluruhan di rumah/keluarga? Sebab seks bukan saja perkara fisik atau anatomis, melainkan juga berkaitan dengan emosi dan kerohanian. Seks merupakan salah satu tindakan fisik yang disoroti Tuhan dan diatur oleh Tuhan secara langsung, maksudnya diikat oleh kaidah rohani.

Akan tetapi, dunia cenderung mengajarkan seks sebatas masalah fisik dan pemuasan kebutuhan fisik. Seandainya dikaitkan dengan yang lebih bersifat rohani, dunia cenderung memberikan gambaran bahwa seks adalah untuk orang yang saling menyukai dan saling mencintai. Dengan kata lain, semakin hari seks semakin dilepaskan dari beberapa cengkeraman yang seharusnya mengatur dan melindunginya. Bahkan, seks semakin terlepas dari lembaga pernikahan dan lembaga komitmen.

Peran terbesar orang tua adalah menekankan bahwa seks bukanlah semata-mata masalah kebutuhan fisik atau masalah saling mencintai. Jauh lebih agung dan lebih berat dari itu, seks merupakan masalah komitmen, yaitu masalah institusi pernikahan yang diakui masyarakat dan yang paling penting adalah diatur oleh Tuhan. Jika seks dilaksanakan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, hal itu menjadi dosa.

Jika orang tua tidak mengajarkan pendidikan seks kepada anak, mereka akan berusaha mendapatkan informasi tersebut dari teman-teman, buku-buku, dan film-film. Kemungkinan besar, mereka tidak mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai seks dan kemungkinan hanya ditekankan pada seks sebagai sesuatu yang nikmat, tanpa ada lagi bobot moral, bobot pernikahan, dan komitmen di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar