Pendidikan untuk
kehidupan emosional dan seksual berarti menolong seseorang untuk
memiliki kepekaan terhadap orang lain, mau mendengarkan, mengasihi,
memiliki hasrat dan kelembutan, serta mau bertanggung jawab. Pendidikan
seks yang sejati membangkitkan hati dan menolong seseorang mencapai
keefektifan yang matang.
Pengalaman membangkitan hati memerlukan
suatu tingkat pengenalan dengan figur orang tua yang berjenis kelamin
sama dengan si anak (ayah dengan anak laki-laki dan ibu dengan anak
perempuan).
Anak laki-laki akan mencontoh hubungan ayah dengan
ibunya. Cara sang ayah bersikap terhadap wanita, terutama istrinya, akan
memberikan pendidikan seksualitas yang sangat kuat bagi putranya.
Sampai batasan tertentu, hal serupa juga berlaku di keluarga yang
anggota keluarganya mengalami cacat mental. Mereka akan bertindak
seperti seorang asisten atau staf yang mereka sukai atau kagumi.
Melalui
hubungan-hubungan semacam inilah, dan juga melalui pengenalan dengan
orang dewasa, seseorang sedikit demi sedikit menemukan identitas mereka
sendiri. Pendidikan seks yang sesungguhnya terjadi di dalam suatu
lingkungan masyarakat, keluarga, dan dalam hubungan antara pria dan
wanita, yang di dalamnya gerakan-gerakan tubuh dan sentuhan
mengekspresikan sukacita dan kelembutan. Pendidikan seks tidak terjadi
melalui gambar-gambar yang tidak dikenal, yang memberikan informasi yang
kurang menggambarkan kebenaran. Tentu saja, sangat penting untuk
mengetahui anatomi tubuh, masa subur, hubungan antara tindakan seksual
dan terbentuknya bayi. Namun, tidak baik untuk menunjukkan tindakan
seksual dengan menggunakan gambar atau slide, yang celakanya dilakukan
juga oleh beberapa orang, karena gambar-gambar ini berisiko
membangkitkan seksualitas yang terputus dari suatu hubungan.
Dalam
dunia nyata, peran seorang pendidik adalah menolong remaja memahami dan
menghargai fungsi-fungsi tubuh dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka. Ketika seseorang berpikir bahwa tubuhnya jelek, ini merupakan
persoalan yang serius. Memberi konseling bagi pasangan tentu saja
membutuhkan lebih banyak informasi yang tepat tentang bagaimana seorang
pria dan wanita menjalani seksualitas mereka bersama-sama. Namun,
penekanannya harus pada pentingnya mendengarkan dan menghormati
perbedaan dalam diri pasangan. Pendidikan seks bukan sepenuhnya
merupakan petunjuk praktis tentang apa yang harus dilakukan seseorang
dan bagaimana melakukannya, sebagai dasar hubungan seksual yang
harmonis, melainkan lebih sebagai suatu cara untuk menolong seseorang
supaya merasa nyaman dengan seksualitas mereka sendiri. Hal ini
mengimplikasikan sebuah pertumbuhan dalam kapasitas untuk melihat orang
lain sebagai seseorang yang memiliki kebutuhan. Hal ini juga mencakup
menolong orang untuk menghadapi tantangan dan kesulitan dalam hubungan.
Bahkan, ini merupakan masa belajar untuk (mengenal) cinta sejati.
Di
l'Arche, saya memerhatikan bahwa sering kali orang yang paling
membutuhkan pendidikan seks adalah para asisten. Mereka telah
terpengaruh oleh media massa yang menyepelekan seksualitas dan tidak
dapat memahami pentingnya seksualitas yang sebenarnya. Mereka tidak tega
dengan jeritan kasih sayang dari orang-orang yang mengalami cacat
mental; mereka tidak tahu bagaimana cara merespons/menanggapi perwujudan
kelembutan atau, setidaknya, perwujudan seksualitas genital. Karena
mereka sendiri tidak jelas akan hal ini, maka mereka tidak yakin apakah
harus menyalahkan atau mengabaikan apa yang mereka lihat.
Zaman
sekarang, kita membutuhkan lebih dari sekadar kesehatan moral di area
hubungan seksual. Kita juga memerlukan pemahaman yang dalam tentang
antropologi, yang merupakan fondasi etika manusia dan kekristenan.
Penting bagi kita untuk menolong orang lain memahami, betapa hubungan
seksual tanpa komitmen yang benar akan merusak hati manusia dan bahwa
seksualitas harus diorientasikan, diperbaiki, dan disatukan oleh cinta,
yang keberadaannya membuat seksualitas menjadi manusiawi. Penting bagi
kita untuk mempelajari bahwa seksualitas semacam ini, yang matang
melalui pertumbuhan biologis dan fisik, berkembang secara harmonis dan
yang disadari kematangannya dari pencapaian kematangan emosi, yang
diwujudkan dalam cinta yang tidak egois dan mau berkorban.
Bentuk
pendidikan seks ini sama pentingnya bagi pria dan wanita yang mengalami
cacat mental ringan. Bagi mereka, pengaruh film dan majalah
kadang-kadang dapat menghancurkan. Media massa menstimulasi insting
seksual mereka, membangkitkan khayalan-khayalan yang salah tentang
"cinta". Hal ini lebih sulit bagi mereka karena hati mereka lebih rapuh
daripada orang lain; juga lebih mudah menderita dan terpengaruh. Mereka
harus mampu berbicara dengan seseorang mengenai pertanyaan-pertanyaan
ini dan memahami apa yang harus dipertaruhkan dalam cinta sejati.
Setelah itu, barulah mereka dapat membuat keputusan yang nyata.
Di
area konseling dan pendidikan ini, harus ada mediator yang memiliki
kepekaan dan kebaikan yang besar untuk menghadapi berbagai penderitaan,
kebingungan, dan rasa sakit. Larangan yang terlalu kaku, yang
dikombinasikan dengan hukuman, dapat mengakibatkan rasa bersalah dan
rasa takut yang lebih besar. Hal ini mungkin dapat memperburuk
pencegahan atau semakin mendorong pencarian seks secara
sembunyi-sembunyi dan mendorong seseorang untuk beralih ke dalam
mimpi-mimpi erotisme. Seorang mediator juga harus mengetahui
batasan-batasan perannya. Kita tidak harus mengetahui segala sesuatu.
Kita harus menghormati ruang pribadi dan rahasia batin seseorang.
Intervensi sebaiknya dilakukan saat Anda yakin bahwa orang lain dalam
bahaya. Peraturan ini selalu sama: ciptakan hubungan yang penuh
kepercayaan, yang memungkinkan adanya dialog dan yang dapat
menghilangkan rasa takut sedikit demi sedikit. Memang benar bahwa
terkadang butuh waktu yang panjang untuk membuat hubungan ini tercapai.
Hubungan ini menuntut seseorang untuk siap berkomitmen selama periode
waktu tertentu dan bersedia menerima tuntutan yang dinyatakan dalam
komitmen semacam ini.
Pengamalan otoritas dan larangan dalam
dunia seksualitas benar-benar sulit. Bahkan, setiap pendidik atau
mediator memiliki luka, kesulitan, kesengsaraan, dan pergumulan mereka
sendiri-sendiri. Seorang mediator yang harus berjuang melawan
kecenderungan homoseksual mungkin akan lebih keras, kurang simpatik, dan
kurang memahami kecenderungan homoseksual orang lain. Kita mungkin
sangat sulit untuk bersikap objektif dalam area seksualitas -- satu area
yang dengan mudah dapat menonjolkan semua kebutuhan dan penderitaan
seseorang. Orang-orang yang menginginkan seksualitas yang "bebas" bagi
mereka sendiri mungkin mendorong orang lain kepada "kebebasan" yang
sama, bukan karena hal itu dapat menolong mereka bertumbuh, melainkan
untuk membenarkan dan membuktikan bahwa perilaku mereka benar. Tanpa
kejelasan mengenai seksualitas dalam diri seseorang itu sendiri, tidak
mungkin dia mendapatkan kejelasan dan kebenaran tentang seksualitas
orang lain. Rasa takut terhadap seksualitas diri sendiri akan
menyebabkan rasa takut pada seksualitas orang lain, oleh karena itu
mengakibatkan kekerasan hati. Tanpa kebebasan untuk memaparkan
seksualitas diri sendiri, maka bisa dipastikan akan ada kesalahpahaman
terhadap seksualitas orang lain. Orang-orang yang tidak percaya pada
kemungkinan pertumbuhan mereka sendiri di area ini, tidak akan percaya
diri dengan pertumbuhan orang lain, malahan akan jatuh ke dalam visi
yang legal dan statis. Orang-orang yang tidak mengetahui kelemahannya
sendiri, tidak akan mampu mengembangkan kesabaran yang dibutuhkan untuk
menolong orang lain untuk berkembang dan mengintegrasikan seksualitas
mereka dalam hubungan mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar